My video, please watching this and i hope you like this ;)

Minggu, 01 April 2012

Arti filsafat


 
Kata ‘filsafat’  berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’ . Kata philosophia  merupakan gabungan dari  dua kata yaitu philos dan sophia.
Arti Kata Filsafat
Philos berarti sahabat atau kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan. Dengan demikian maka arti dari kata philosophia adalah cinta pengetahuan. Atau dengan kata lain bisa juga diartikan sebagai orang yang senang mencari ilmu dan kebenaran .Plato dan Socrates dikenal sebagai philosophos (filsuf) yaitu orang yang cintai pengetahuan.
Sebelum Socrates, ada juga sekelompok orang yang menamakan diri mereka sebagai kelompok sophist yaitu kelompok para cendikiawan. Kelompok ini  menjadikan pandangan dan persepsi manusia sebagai suatu hakikat kebenaran, tapi karena kelompok ini sering keliru dalam memberikan argumen-argumennya maka lambat laun istilah sophist keluar dari arti aslinya dan berubah menjadi seseorang yang menggunakan argumen-argumen yang keliru (paralogisme)
Sebagaimana kata sophist yang mengalami perubahan arti, lambat laun kata philosophos (filsuf) pun akhirnya berubah arti yakni menjadi lawan kata sophist. Dengan perubahan ini maka terjadi juga pergeseran arti kata philosophos dari ‘pencinta pengetahuan/ilmu’ menjadi seseoarang yang berpengetahuan tinggi. Sedangkan philosophia (filsafat) berubah menjadi sinonim dengan ilmu.
Dan perlu untuk kita ingat bahwa kata filsuf (philosophos) dan filsafat (philosophia) ini baru menyebar luas setelah masa Aristoteles. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah ini  (philosophia atau philosophos) dalam literatur-literaturnya.
Setelah masa kejayaan romawi dan persia memudar, penggunaan istilah filsafat berikutnya mendapat perhatian besar dari kaum muslimin di arab. Kata falsafah (hikmah) atau filsafat kemudian mereka sesuaikan dengan perbendaharaan kata dalam bahasa arab, yang memiliki arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional.
Ketika kaum muslimin arab saat itu ingin menjabarkan pembagian ilmu menurut pandangan Aritoteles, mereka (muslimin arab) kemudian mengatakan bahwa yang disebut dengan pengetahuan yang rasional  adalah pengetahuan yang memiliki dua bagian utama, yaitu Filsafat teoritis dan Filsafat praktek.
Filsafat teoritis adalah filsafat yang membahas berbagai hal sesuai dengan apa adanya, sedangkan filsafat praktek adalah pembahasan mengenai bagaimanakah  selayaknya prilaku dan perbuatan  manuasia.
Filsafat teoritis kemudian dibagi menjadi 3 bagian yaitu : filsafat tinggi (teologi) , Filsafat Menengah (matematika) , dan filsafat rendah (fisika).  Filsafat tinggi (ilahiah) ini kemudian dibagi lagi menjadi 2 bagian, yang pertama adalah filsafat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang umum dan yang kedua adalah filsafat yang berhubungan dengan perkara-perkara khusus.
Sedangkan filsafat menengah (matematika) dibagi menjadi 4 bagian, yakni  ; Aritmetika, geometri, astronomi dan musik.   
Dari sekian pembagian ilmu dan pembahasan yang membicarakan filsafat, agaknya  ada 1 hal yang mendapat porsi lebih utama dari yang lainnya, dan yang 1 hal ini dinamai dengan berbagai macam nama yang maksudnya tetap sama yaitu , filsafat tinggi (’uyla), filsafat utama (aula), ilmu tertinggi ( a’la), ilmu universal (kulli), teologi (Ilahiyah), dan filsafat metafisika.
Ketika ‘perhatian’ para filsuf kuno tentang filsafat ini lebih tercurah pada masalah filsafat tinggi, maka akhirnya kita bisa melihat arti filsafat menurut para filsuf kuno yang terbagi menjadi dua, pertama adalah arti yang umum ; yaitu berbagai ilmu pengetahuan yang rasional dan yang kedua adalah arti khusus, yaitu : ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan (Ilahiyah) atau filsafat tinggi yang nota bene adalah pecahan dari filsafat teoritis.
Sekarang kita menemukan istilah umum dan khusus. Filsafat menurut istilah umum adalah ilmu pengetahuan yang  rasional, sedangkan menurut pendapat yang tidak umum filsafat adalah ilmu yang oleh orang-orang kuno disebut sebagai filsafat tinggi, filsafat utama, ilmu tertinggi, ilmu istimewa, atau ilmu Ilahiyah.
Sedangkan menurut terminologi muslimin filsafat adalah adalah nama bagi seluruh ilmu rasioanal dan BUKAN nama dari satu ilmu tertentu. Filsafat adalah sebuah ilmu yang memandang dan mengamati keberadaan (eksistensi) alam ini sebagai suatu objek yang satu.

Menghilangkan aku menghadirkan Tuhan

Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.
Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?
Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapura dan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.
Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?
Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).
Apa kaitannya dengan individualisme?
Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku) -nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.
Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya muncul kan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.
Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?
Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.
Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?
Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak.
Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?
Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad saw. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.
Nah, ada juga problem Mas. Masyarakat kan sering memisahkan akal dengan hati. Artinya, mungkin bisa dijelaskan perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan intelek (qalbu)?
Kalau reason, kan berada di wilayah ilmu hushuli, konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau intelek itu ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah. Antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah. Dia menyatu. Seperti, saya sadar dengan diri saya sendiri. Aku tahu aku. Aku subjek, aku juga objek kan. Demikian juga, aku lapar. Lapar itu satu objek pengetahuan, kita tahu. Subjek ilmu, saya kan. Tapi lapar bukan berada diluar saya, tetapi didalam diri saya sendiri. Bukan identitas saya juga, tetapi sebagian dari aspek saya.
Kalau Maulana Rumi menceritakan perbedaan itu. Diceritakan ada kompetisi melukis, menggambar taman bunga. Satu group minta kanvas, kuas, dan cat yang paling bagus. Sementara group lain hanya minta cermin. Setelah jadi dilihat, oh ini lukisannya bagus, lukisan di kanvas, persis seperti taman, tapi cuma satu dimensi saja. Sementara cermin kan refleksi, oh ini persis sekali. Nah, kalau filsuf itu melukis realitas, dengan konsep, ide dan pemahamannya. Kalau seorang ‘arif, realitas dimasukkan dalam hatinya, cermin itu qalbu-nya. Realitasnya ada didalam cermin, jadi tidak terpisah dari dia. Makanya dalam hadist, “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Nah dimana kita menempatkan Tuhan yang tidak terbatas? Dengan merefleksikan Dia tentunya.

Cermin itu didalam manusia?
Qalbu itu cermin. Allah ada disitu. Qalbu kan divine, bukan human. Gimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, kecuali kalau qalbu itu sendiri adalah Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, maksudnya ya Tuhan yang mengenal diri-Nya sendiri. Nggak mungkin manusia kenal Tuhan. Jadi Tuhan itu mengenal diri-Nya sendiri.
Intelek seperti itu. Kalau ilmu hushuli kan konsep, melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri, kita masukkan realitas dalam hati. Kalau kita melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Nabi melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Jadi Nabi setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah, itu bahasa teologisnya. Tetapi sebenarnya, Aku adalah Dia. Jadi bukan politik humanis lagi, tapi politik divine. Disini filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, mau menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia. Ketika Tuhan hadir, kan alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Salah satu nama Tuhanpun al-Mu’min, Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Dia hadir, Dia akan memberi keamanan pada semunya. Khan ada hadist, al-mu’min miratul mu’min (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan).
Di Paramadina saya pernah ditanya, “Tuhan dengan manusia kan beda?” Saya jelaskan, dalam al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, innama ana basyarun mistlukum (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Saya bertanya pada Bapak itu, “Pak, disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia, seperti kalian, mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya bukan persis manusia. Lalu kalau begitu, Muhammad itu apa?”

Maksudnya?
Tuhan mau menyelamatkan manusia di bumi ini. Tetapi kalau Tuhan menurunkan manusia, sama kan, kualitas, kharakter. Jadi nggak bakal selamat. Maka yang harus membimbing manusia itu harus Aku, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia, khalifah: cermin Aku sendiri. Jadi Tuhan, mau membimbing manusia tanpa meninggalkan langit, caranya bagaimana? Bahasa simbolisnya kan. Kalau Tuhan turun, langit kosong dong. Khan di al-Qur’an, fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (di langit Tuhan, di bumi Tuhan). Satu cara untuk Tuhan turun ke bumi, tanpa meninggalkan langit itu, taruh cermin dibawah, namanya khalifatullah. Dia sendiri yang datang. Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk.
Cara atau metodologi dalam kedua ilmu yang berbeda itu seperti apa Mas? Al-Ghazali berkata, bahwa pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga eksperimental ruhaniyah. Apakah seperti itu?
Mereka yang belum menyadari kehadiran intelek, paling tidak memiliki panca indera, dan rasio. Indera kita gunakan untuk melihat, afalaa tadabbarun, kamu lihat langit dan bumi, dan kamu kontemplasi. Rasio untuk berpikir. Sementara proses pemikiran kan berada dibawah bimbingan wahyu, dari Dia juga. Jadi tidak terputus dari Tuhan. Nah kita gunakan semua ini, untuk diarahkan pada kesadaran intelektus tadi. Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.
Pertama, kita harus menempatkan diri kita dalam ruang agama. Tidak mungkin diluar agama. Sekarang di Barat ada yang nggak pakai agama, spiritual universal. Kata mereka, kalau sudah terikat oleh agama, maka tidak universal lagi. Padahal kalau kita terikat pada satu agama, kita makin universal. Karena tidak mungkin ada universal tanpa partikular. Contoh. Orang bilang kalau sudah ada batin, nggak butuh dhahir lagi. Bisa nggak saya bilang, saya kenal atas, tapi bawah saya nggak tahu? Nggak bisa kan. Kenal atas karena kenal bawah. Dhahir itu ada, karena ada batin kan, demikian sebaliknya. Nah, dalam agama ada jalan esoteris, jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan itu. Itu syarat yang berada diluar diri manusia.
Kedua, cara yang ada dalam diri manusia. Yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Kata Syeh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Misal, dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang dikit saja, itu sudah cukup. Kalau nggak ada lubang, semua tertutup, kita nggak bisa melampaui ruang yang gelap.
Kata hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”.
Ya. Ketika ada aspirasi baru ada respon, Jadi adzkuruunii adzkurukum, jika kau mengingat Aku, maka Aku pun mengingatmu. Setelah himmah, maka harus ada iman. Iman kepada agama. Agama terbentuk dari wahyu, dan wahyu sebenarnya manifestasi dari Dia, jadi iman kepada Dia sebenarnya. Ini yang subjektif, himmah dan iman. Sementara yang objektif tadi, agama dan jalan dalam agama. Seorang sufi berkata, “Dari Tuhan kepada manusia ada jalannya. Tapi dari manusia ke Tuhan, nggak ada jalannya”. Jadi kalau ada orang tenggelam, yang melempar tali itu siapa? Orang yang dikapal atau yang tenggelam? Jadi jalan dari kapal ke laut ada, tapi kalau sebaliknya tidak ada. Oleh karena itu syariat dari Tuhan, bukan manusia yang membuat syariat. Jalan thariqah pun harus dari Tuhan. Karena kita kan berada di luar, mau kedalam. Apa kita buat jalan sendiri? Nggak mungkin. Itu yang saya maksudkan, agama harus ada “jalan kedalam”, dari batin agama itu sendiri.

Avicenna
Filsafat Islam dewasa ini menjadi domain wacana dan tema diskusi yang kuat di kalangan pemikir (pemerhati filsafat) di Timur maupun di Barat. Setidaknya hal ini terjadi pada abad ke-19 hingga kini.
Sebut saja orang-orang seperti Adam Mez, Henry Corbin, Goldziher, Hitti, HAR. Gibb, atau Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Joel Kraemer, dan belakangan Oliver Leaman serta beberapa ahli filsafat muslim yang ada di Eropa lainnya ikut mengkaji filsafat Islam secara intens.
Adapun sebelumnya, wacana filsafat Islam seringkali tidak terjamah bahkan mungkin hampir ditiadakan baik itu di kalangan pemikir Barat, maupun dalam sebagian tradisi Islam sendiri. 
Filsafat Islam dipandang sebagai sebuah objek yang asing dan serangkaian ilmu import yang harus dilawan dan diperlakukan sebagai anak yatim oleh para sarjana Barat terutama para sejarawan kuno.
Referensi yang selama ini dirujuk oleh para sarjana Barat ketika menghubungkan antara Kebangkitan (Renaissance) di Eropa adalah tradisi keilmuan Yunani yang dikenal dengan zaman logos. Hal ini sangat kuat diyakini terutama dalam cara pandang tentang kehidupan yang dilandasi oleh pemikiran filosofis Yunani. Selalu saja rujukan awal yang dicari adalah para pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Memang hal ini bukanlah sebuah kesalahan fatal. Namun ketika hal tersebut tidak pernah dikaitkan dengan kejayaan yang pernah diraih oleh Islam –dan kita tahu bahwa Islam sangat banyak menyumbangkan pemikiran dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sejarah, dan beberapa bidang lainnya–, ada keterputusan-sejarah yang pada akhirnya menyebabkan kerancuan-ilmiah dalam memandang filsafat secara umum terutama dalam filsafat Barat pasca Renaissance. Karena pada dasarnya ada kotinuitas-historis yang tidak bisa kita abaikan.
Ketika Islam mengalami kejayaan peradaban pada abad ke-9 hingga abad ke-11, dunia Islam sendiri mengakui adanya andil besar gelombang helenisme yang lebih awal dalam mengais kemajuan peradaban. Dalam hal terakhir ini, pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles, dan beberapa tokoh lain, coba ditafsirkan oleh para filosof muslim awal seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Hasan Hanafi mencoba mendongkrak asumsi-asumsi salah yang dilancarkan para pengkaji filsafat Islam, baik dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan orientalis. Menurut Hanafi, selama ini mereka menduga bahwa para filosof muslim hanya melakukan pembacaan terhadap filsafat Yunani, kemudian mengikuti, melakukan anotasi, dan meringkas karya para filsuf Yunani, serta mencampuradukkannya dengan filsafat Islam, dengan memperburuk pemahaman tentang konsep-konsep filosofis.
Namun saya kira, tradisi Yunani pun tidak bisa lepas dari perkembangan tradisi filsafat Timur-Dekat sebagai pendahulunya. Secara genuin, Joel L. Kraemer menjelaskan bahwa filosof-filosof Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, umpamanya, dikatakan telah belajar kepada Luqman “sang filosof” (Luqman al-Hakim) di Syro-Palestina pada masa Nabi Daud; atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaiman di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir. Kemudian para filosof semacam ini membawa tradisifilosofis” yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut.
Ada khazanah yang cukup berharga dari temuan-temuan pada filsafat Islam yang selama ini tidak diakui oleh filosof dan pemerhati filsafat di Barat. Padahal Islam sendiri memiliki tradisi keilmuan yang begitu kokoh, terutama pada abad pertengahan. Atau mungkin sebenarnya mereka banyak mengambil khazanah pemikiran filsafat Islam, namun mereka enggan untuk mengakui keberadaannya secara ontologis dalam rentetan sejarah peradaban dunia.

Mulla Sadra
Tradisi filsafat : Menurut Majid Fakhry, tradisi filsafat bermula muncul di pesisir Samudera Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Sedangkan bagian Timur ini merupakan wilayah Asia.
Oleh karenanya dalam dunia filsafat terkenal adanya istilah “kearifan timur” sebagai the ancient wisdom, karena memang awal mula munculnya tradisi filsafat adalah dari dunia Timur. Lalu dari Asia Minor yang berada di Barat Asia berpindah ke Aegen –yang bagian Utara dan Baratnya adalah daratan Yunani. Beberapa abad lamanya, tanah Yunani inilah yang menjadi tempat bersemainya filsafat.
Tradisi filsafat mulai merambah kembali ke daerah Timur ketika Iskandar Agung berkuasa sekitar 332 SM di Iskandariah, dan memuncak pada 529 M. Iskandariah merupakan bagian dari Mesir saat ini. Lalu ketika Mesir takluk pada bangsa Arab pada 641 Munasabah di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash, Iskandariah tetap menjadi kota budaya yang mengembangkan tradisi filsafat, sains, dan kedokteran.
Perdebatan rasional-filosofis dalam tradisi Islam sebenarnya sudah dimulai pada permulaan abad munculnya Islam, yakni sekitar akhir abad ke-6 dan ke-7 yang diawali oleh aliran-aliran teologis dalam Islam, terutama aliran Mu’tazilah. Namun pembahasan yang mereka lakukan hanya terbatas pada permasalahan ketuhanan dalam bingkai agama. Permasalahan lain seperti realitas alam, manusia, dan kehidupan belum banyak mereka bicarakan dengan pemikiran yang radikal.
Pengaruh filsafat Yunani yang cukup signifikan terjadi pada corak pemikiran filosofis Islam, berlangsung melalui proses penerjemahan, transferensi, dan anotasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh filosof muslim. Banyak sekali buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan cukup mempengaruhi corak pemikiran para filosof muslim, di antaranya Timaeus karya Plato; Analytica Posteriora, Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption dan Nicomachean Ethics karya Aristoteles; Isagoge karya Porphyry, dan Synopsis of the Ehtics karya Galen. Semua itu dilakukan pada masa kekuasaan ‘Abbasiyah.
Tradisi penulisan filsafat secara sistematis baru dimulai pada abad ke-9 di kawasan masyriq Islam, oleh Abu Yusuf Ya’qub al-Kindi (w. 866 M). Lalu berlanjut pada beberapa tokoh yang semakin hari menampakkan kegemilangan filsafat Islam, seperti Abu Bakar al-Razi (w. 925/932/935 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), Ibn Miskawaih (w. 1030 M), dan al-Ghazali (w. 1111 M).
Berlanjut setelahnya, filsafat Islam pun berkembang di wilayah maghrib dengan beberapa tokohnya seperti Ibn Masarrah (w. 931 M), Ibn Bajjah (w. 1139 M), Ibn Thufail (w. 1185), Ibn Sab’in (w. 1270 M) dan berpuncak pada Ibn Rusyd (w. 1198 M) serta Ibn Khaldun (w. 1406 M).
Selama ini berkembang asumsi ahistoris yang disuarakan dengan gencar oleh sebagian ahli filsafat dan para sejarawan, bahwa kajian filsafat Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rusyd.
Menurut Mustamin al-Mandary asumsi semacam ini, pertama lahir dari studi-studi filsafat Islam yang cenderung terlalu mengagungkan (atau menyimpulkan) bahwa puncak filsafat Islam terletak pada perdebatan filosofis-historis (dialektis) antara al-Ghazali (1059-1111 M) yang menyerang Ibn Sina sebagai pendiri mazhab Parepatetik dalam filsafat Islam, dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M). Sehingga ketika keduanya wafat, maka tradisi filsafat Islam diasumsikan mati.
Kedua, sebagian besar pengamat filsafat menganggap bahwa “dialektika” filosofis antar Ibn Sina-al-Ghazali-Ibn Rusyd merupakan sebuah pertentangan. Padahal jika kita cermati secara jeli, dialektika yang berlangsung antara mereka merupakan sebuah upaya untuk mempertegas arah dan posisi filsafat Islam, dan pada saat yang sama terdapat nilai-nilai yang mesti dipertegas antara nilai-nilai keIslaman dan nilai-nilai filosofis.
Kritik al-Ghazali terhadap Ibn Sina dan kaum Parepatetik mesti kita dudukkan sebagai usaha besar untuk merubah kecenderungan filsafat Islam, dari klaim-klaim menggelitik tentang filsafat Islam ( filsafat Islam hanyalah sebagai filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ) ke arah filsafat Islam yang khas. Sedangkan usaha kritik-balik yang dilancarkan oleh Ibn Rusyd adalah sebuah upaya bahwa kaum muslim harus benar-benar serius dalam mengedepankan nilai-nilai filosofis dalam filsafat Islam secara mandiri.
Ketiga, pada umumnya, para pengamat sejarah filsafat Islam cenderung melupakan adanya sinergitas dan kontinuitas tradisi filsafat Islam di belahan dunia muslim lainnya. Yakni ketika mereka membatasi kajian filsafat Islam pada tokoh-tokoh dari al-Kindi sampai al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
Pandangan ahistoris semacam ini mesti lekas kita tolak, karena pada kenyataannya filsafat Islam terus berkembang terutama dikembangkan di sebagian besar wilayah timur dan beberapa kecil di maghrib. Ada beberapa tokoh yang terus melanjutkan tradisi filosofis dalam Islam meski lahir dengan berbagai perbedaan coraknya, seperti Syihab al-Din Suhrawardi (w. 1191 M) yang mendirikan mazhab filsafat Illuminasionisme, Muhy al-Din Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) yang memiliki corak teosofi/’irfani (gnostisisme) di maghrib.
Ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi ini ternyata lebih berkembang di daerah Persia dengan tokoh-tokohnya semacam Shadr al-Din Qunawi (w. 1274 M), Quthb al-Din al-Syirazi (w. 1311 M). Bahkan sampai ke Turki melalui Jalal al-Din Rumi (1273 M). Tradisi Illuminasionisme berkembang melalui Syahrazuri (w. 1288 M), Ibn Kammunah (w. 1284 M), Sayyid Haydar Amuli (w. 1385 M), dan Mir Damad (w. 1631 M). Mazhab filsafat peripatetik terus berlanjut melalui Nashir al-Din al-Thusi (w. 1274 M).
Puncak dari semua aliran filsafat ini berada di tangan Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1637 M) yang mencoba memadukan semua aliran filsafat Islam yang ada sebelumnya di bawah nama al-Hikmah al-Muta’aliyah atau Teosofi Transenden. Setelahnya tradisi filsafat Islam tidak pernah padam bahkan sampai abad modern dewasa ini.

pengetahuan
‘Ilmu’ dan ‘Pengetahuan’ adalah 2 hal yang mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Ilmu dalam bahasa inggrisnya adalah “science” dan Pengetahuan adalah “knowledge”
Sehingga JELASLAH bagi kita sekarang untuk membedakannya :) , Pengetahuan adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah tidak tahu menjadi tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara.
Lha? Maksudnya apa niy?
Maksudnya, mari kita lihat contoh
Misalnya, Ahong pergi memancing….
Disitu Ahong TAHU persis pelampung kailnya selalu terapung. Ahong akan membantah kalau ada yang mengatakan pelampung kailnya tenggelam. Yang demikian namanya ‘pengetahuan’ bagi Ahong. Bagi Ahong sudah tidak ada keraguan lagi tentang mengapungnya palampung kail, walaupun dia dipengaruhi oleh gurunya yang mengatakan pelampung kail tenggelam, Ahong tetap akan bersikukuh untuk mengatakan terapung.
Jika setelah mendengar perkataan gurunya, Ahong kemudian terpengaruh atau ragu tentang pelampung kailnya, maka sesungguhnya Ahong tidak lah tahu sama sekali tentang pelampung, Ahong tidak memeiliki ‘Pengetahuan’ tentang pelampung.
Apakah yang dimaksud dengan ilmu?
Kalau kita ambil contoh diatas, misalnya sekarang Ahong mengetahui pelampungnya bisa mengapung karena berat jenis (BJ) pelampung lebih kecil dari berat jenis (BJ) air, sehingga menyebabkan pelampung menjadi mengapung, maka ini lah yang disebut ‘ilmu’ bagi Ahong.
Jadi perdefinisi bisa kita lihat, ‘Pengetahuan CUKUP puas dengan hanya menepis keraguan terhadap satu perkara’
Sedangkan ilmu tidak berhenti hanya pada pengetahuan saja, tetapi mampu menangkap asal-usul pengetahuan itu sendiri. Rangkaian cerita, mulai dari pelampung yang mengapung, sampai dengan bagaimana terjadinya pelampung mengapung, dan bagaimana cara kerja berat jenis (BJ) inilah yang disebut dengan ‘ilmu’
Dalam pengetahuan modern, ilmu dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok a posteriori (pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen/pengalaman indrawi) dan kelompok a priori (pengetahuan yang TIDAK diperoleh dari percobaan/eksperimen) TAPI bersumber dari akal itu sendiri.

Kita sering mendengar disekitar kita kalimat-kalimat seperti ini : ” ILMU gue ga nyampe” , ” Gue TAHU dong ” , ” Gue ga PAHAM” dan lain-lain…
Sekilas…
pengetahuan
Ya.. sekilas kita jarang memperhatikan apa perbedaan dari kalimat-kalimat tersebut, karena bagi kebanyakan kita, Mengabaikan kalimat “sepele” seperti itu tidak akan pernah merubah gaji yang kita terima dari kantor ? Jadi tidak ada urgensinya bagi kebanyakan orang untuk meneliti isi kalimat yang sering berseliweran di sekitar kita. Tapi sekarang, mungkin iseng-iseng untuk melepas “boring” dikantor atau dirumah, yuk kita teliti, apakah yang dimaksud dengan kata “ilmu” ?
Mari kita lihat…
Sebelum meneliti kata “ilmu” perlu kita bicarakan dulu teman dekatnya yang sering menjadi “pemicu kesalah pahaman” tentang satu perkara per perdefinisi, yaitu “Tahu” atau Pengetahuan
‘Ilmu’ dan ‘Pengetahuan’ adalah 2 hal yang mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Ilmu dalam bahasa inggrisnya adalah “science” dan Pengetahuan adalah “knowledge”
Sehingga JELASLAH bagi kita sekarang untuk membedakannya J , Pengetahuan adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah tidak tahu menjadi tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara.
Lha? Maksudnya apa niy?
Maksudnya, mari kita lihat contoh
Misalnya, Ahong pergi memancing….
Disitu Ahong TAHU persis pelampung kailnya selalu terapung. Ahong akan membantah kalau ada yang mengatakan pelampung kailnya tenggelam. Yang demikian namanya ‘pengetahuan’ bagi Ahong. Bagi Ahong sudah tidak ada keraguan lagi tentang mengapungnya palampung kail, walaupun dia dipengaruhi oleh gurunya yang mengatakan pelampung kail tenggelam, Ahong tetap akan bersikukuh untuk mengatakan terapung.
Jika setelah mendengar perkataan gurunya, Ahong kemudian terpengaruh atau ragu tentang pelampung kailnya, maka sesungguhnya Ahong tidak lah tahu sama sekali tentang pelampung, Ahong tidak memeiliki ‘Pengetahuan’ tentang pelampung.
Apakah yang dimaksud dengan ilmu?
Kalau kita ambil contoh diatas, misalnya sekarang Ahong mengetahui pelampungnya bisa mengapung karena berat jenis (BJ) pelampung lebih kecil dari berat jenis (BJ) air, sehingga menyebabkan pelampung menjadi mengapung, maka ini lah yang disebut ‘ilmu’ bagi Ahong.
Jadi perdefinisi bisa kita lihat, ‘Pengetahuan CUKUP puas dengan hanya menepis keraguan terhadap satu perkara’
Sedangkan ilmu tidak berhenti hanya pada pengetahuan saja, tetapi mampu menangkap asal-usul pengetahuan itu sendiri. Rangkaian cerita, mulai dari pelampung yang mengapung, sampai dengan bagaimana terjadinya pelampung mengapung, dan bagaimana cara kerja berat jenis (BJ) inilah yang disebut dengan ‘ilmu’
Dalam pengetahuan modern, ilmu dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok a posteriori (pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen/pengalaman indrawi) dan kelompok a priori (pengetahuan yang TIDAK diperoleh dari percobaan/eksperimen) TAPI bersumber dari akal itu sendiri.

 

Filsafat Ilmu

SOAL UTS FILSAFAT 1LMU


1.      JELASKAN MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU ?
2.      APAKAH ADA PERBEDAAN BERFIKIR BIASA, BERFIKIR ILMIAH, DAN BERFIKIR FILSAFAT, JELASKAN?
3.      KENAPA ILMU HARUS DIDASARI OLEH ASUMSI FILSAFAT, JELASKAN ?
4.      BERFILSAFAT BERARTI BERFIKIR, TAPI BERFIKIR TIDAK BERARTI BERFILSAFAT, KENAPA, JELASKAN?
5.      APA YANG SEDANG SAUDARA FIKIRKAN PADA SAAT MEMBACA SOAL DIATAS, URAIKAN DENGAN PANJANG LEBAR?

18 Tanggapan ke “Filsafat Ilmu”

1.        TONI KOSWARA (KELAS KARYAWAN-MANAJEMEN) Berkata:
Mei 22, 2007 pukul 6:22 am | Balas
JAWABAN SOAL UTS
SOAL 1:
Manfaat dari mempelajari filsafat adalah kita akan tahu tujuan dari setiap kegiatan, tujua/maksud sesuatu diciptakan/dibuat dan manfaat mempelajari filsafat ilmu adalah kita akan tahu tujuan/maksud ilmu itu diciptakan/dibuat.
SOAL 2:
Perbedaan dari berfikir biasa, berfikir ilmiah dan berfikir filsafat adalah : HASIL DARI BERFIKIR ITU.
- Berfikir biasa akan menghasilkan sesuatu yang biasa, yang mungkin hanya akan dirasakan oleh diri sendiri.
- Berfikir ilmiah akan menghasilkan sesuatu yang dapat dipertangung jawabkan secara ilmiah.
- Berfikir filsafat akan menghasilkan manfaat, arah yang jelas dari hasil berfikir itu.
SOAL 3:
Karena kalau ilmu tidak didasari oleh asumsi filsafat maka tidak akan diketahui tujuan dari ilmu tersebut itu diciptakan/dibuat.
SOAL 4:
BERFILSAFAT BERARTI BERFIKIR artinya berfikir dengan bermakna dalam arti berfikir itu ada manfaatnya, maknanya dan tujuannya, sehingga mudah untuk direalisasikan dari berfikir itu karena sudah ada acuan dan tujuan yang pasti/sudah ada planing dan controlnya. dan yang paling utama hasil dari berfikir itu bermanfaat bagi orang banyak.
tapi BERFIKIR TIDAK BERARTI BERFILSAFAT, karena isi dari berfikir itu belum tentu bermakna atau mempunyai tujuan yang jelas atau mungkin hanya khayalan saja. contoh: berfikir utang yang belum bisa dibayar, berfikir pengen jadi kaya dan lain sebagainya.
SOAL 5:
Secara tidak langsung soal-soal di atas menyuruh memanfaatkan akal pikiran ke arah yang positif karena itulah ciri kemulyaan manusia di banding mahkluk lain. Yang saya pikirkan bagaimana kita bisa berkarya dengan berfikir sehingga bermanfaat bagi orang banyak, jangan sampai kita hanya menjadi konsumen tapi jadilah produsen dalam kehidupan ini.
2.        RISNA JUANDA ( Kls :Karyawan/Tk.III/Manajemen Berkata:
Mei 24, 2007 pukul 4:55 am | Balas
1. - Manfaat mempelajari Filsafat :
a. Kita dapat mencari solusi/jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu dan solusi/jawaban tersebut besifat spekulatif.Sehingga kita mempunyai sandaran/pijakan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan bermasyarakat.
b. Manfaat mempelajari Filsafat Ilmu :
Kita menjadi mengerti dan memahami ilmu dengan pengkajian yang berkaitan dengan objek ilmu itu sendiri, sehingga kita dapat mengetahui bagaimana kita memperoleh ilmu dan bagaimana dampak etisnya bagi kehidupan masyarakat pada umumnya.
2. Perbedaan berfikir biasa, berfikir Ilmiah dan berfikir Filsafat :
a. Berfikir Biasa adalah berfikir dengan menggunakan akalnya secara sederhana untuk memperoleh pengetahuan terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya.
b. Berfikir Ilmiah adalah berfikir untuk memahami kaidah-kaidah berfikir benar ( logika ) yang memerlukan keahlian dengan menggunakan metode-metode tertentu untuk mencapai kebenaran.
c. Berfikir Filsafat adalah berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam sehingga setiap masalah/subtansi mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran jawaban dengan cara yang benar sebagai manifestasi kencintaan pada kebenaran.
3. Ilmu harus didasari oleh asumsi filsafat :
Ilmu kalau tidak didasari asumsi filsafat tidak ada hikmahnya, karena ilmu hanya mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan sedangkan filsafat itu sendiri mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh ilmu sehingga ilmu memberikan pengetahuan dan filsafat memberikan hikmahnya.
4. Berfilsafat berarti berfikir, tapi berfikir tidak berarti berfilsafat :
v Bila seseorang mengatakan sedang berfikir tentang sesuatu, ini mungkin dia sedang membentuk gagasan/ide umum tentang sesuatu/sedang menentukan sesuatu/sedang mempertimbangkan ( mencari argumentasi ) berkaitan dengan sesuatu tersebut.
v Sedangkan kalau orang berfilsafat berarti berfikir karena berfilsafat itu bukan berfikir sembarangan berfikir, karena memerlukan latihan dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan berfikir, yang mungkin difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran.
5. Yang saya fikirkan dalam membaca soal tersebut yaitu :
ü Saya berfikir, bagaimana saya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan benar.
ü Saya berfikir, bagaimana saya mendapatkan buku-buku sumber untuk mencari jawaban pertanyaan tersebut.
ü Saya berfikir, bagaimana caranya untuk menjawab pertanyaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh pembuat soal.
3.        Arif Budy darmawan (Kls. Karyawan TK.III/ Manajemen ) Berkata:
Mei 24, 2007 pukul 8:13 am | Balas
1.Manfaat nya adalah untuk mencari kebenaran, namun kebenaran filsafat dan dan kebenaran ilmu masih tetap saja bersifat relatif sebagi proses yang tidak pernah selesai, maksudnya bahwa kebenaran yang didapatkan oleh filsafat dan ilmu tidak selesai dan terus berproses dan menjadi , yang dalam hukum dialektika dan seterusnya sebagai tanda bahwa manusia, pemikiranya dan ciptaanya bersifat relatif sedangkan kebenaran itu sendiri identik dengan pencipta kebenaran yang maha benar hanyalah Allah SWT.
2.Perbedaan berpikir biasa, ilmiah dan filsapat
a.Berpikir biasa adalah bagaimana manusia berfikir untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya artinya berfikir untuk kepentingan pribadinya.
b.Berpikir Ilmiah adalah berfikir secara logis yaitu secara nyata dan apa yang kita pikirkan bias dipertanggung jawabkan
c.Berfikir Filsafat adalahberfikir untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah pada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.
3.Kenapa ilmu harus di landasi oleh filsafat :
Ilmu adalah kebenaran dan filsafat adalah pemikiran jadi ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan suatu kebenaran dan bila ilmu disuntik dengan filsafat atau pemikiran maka ia akan bergerak maju untuk mencari kebenaran.
4.Berfilsafat berarti berfikir tapi berfikir tidak berarti berfilsafat maksudnya adalah
Berfilsafat berarti berfikir artinya berfikir dalam berfilsafat bermakna adalah ada manfaatnya, makna dan tujuannya, sehingga mudah untuk Mengaplikasikanya karena sudah ada tujuan yang pasti
berfikir tidak berarti berfilsafat, artinya memikirkan sesuatu yang belum tentu ada maknanya artinya berpikir dengan tidak memikirkan dampak dan akibat dari pemiriran tersebut..
5.Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran
filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiridan yang pada intinya dari ilmu dan filsafat adalah mencari kebenaran.
4.        CICIH NURYANINSIH/ kLS KARYAWAN/ MANAJEMEN/2005042289 Berkata:
Mei 28, 2007 pukul 5:44 am | Balas
1. A. Manfaat mempelajari filsafat, kita dapat mengerti dan memahami kita laapa yang akan dilakukan dari mulai sikap, metode berpikir, subtabsi masalah serta sisitem berpikir, juga dapat menjelaskan apa tentant apa, bagaimana dan untuk apa yang akan kukan.
B. Manfaat dari filsafat ilmu adalah :
- untuk melatih berpikir radikal tentang hakekat ilmu
- melatih berpikir relatif di dalam lingkup ilu
- menghindarkan diri dari kemunafikan
- menghindarkan diri dari egoisme ilmiah
2. Perbedaan berpikir biasa, berpikir ilmiah dan berpikir filsafat adalah :
berpikir merupakan upaya memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berpikir dapat teus berlanjut guna memeperoleh pengetahuan baru, dan prosesnya tidak berhenti selama upaya pencairan pengetahuan terus dilakukan.
a. Berpikir biasa adalah:
Berpikir yang sipatnya sderhana dan menghasilkan pengetahuan biasa ( pengetahuan Eksistensial)
b. Berpikir Ilmiah adalah :
Berpikir yang sistematis dan faktual tentang objek tetentu yang menghasilkan pengetahuan ailiah pula (Ilmu).
c. Berpikir radikal adalah :
Berpikir tentang hakekat sesuatu yang menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat)
3. Ilmu harus didasari oleh asumsi filsafat karena,
Ilmu memang harus dilandasi dengan filsafat sebab bila ilmu tidak dilandasi oleh berbagai asumsi filsafat dihawatirkan ilmu itu tidak bermanfaat, bijaksana dan tidak benar sehingga bertentangan dengan akidah-akidah dalam ajaran agama.
4.Berfisafat berarti berpikir itu memang benar karena, berfilsafat selalu berusaha untuk berpikir guna mencapai kebaikan dan mencari kebenaran dari berbagai teori atau ilmu-ilmu, dn berfilsafat itu berrarti penyelidikan tentang apanya, bagaimananya dan untuk apa. berpikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam.
sedangkan berpikir itu sendiri tidak berarti berfilsafat karena semua orang bisa berpikil tapi belum tentu dia sedang berfilsafat, karena berpikir kadang tidak dilandasi oleh folsafat sekalipun masih bisa dilakukan.
5. Pada saat membaca soal-soal diatas yang terbayang dalam benak saya adalah :
- apakah yang sedang saya pikirkan ini termasuk sedang berfilsat, dan
- apakah yang sudah saya lakukan selama ini baik dalam memuntut ilmu pengetahuan maupun dalam bekerja di Isntansi Pemerintah sudah ada manfaatnya bagi orang banyak khususnya untuk diri sendiri dan keluarga dan semoga saya bisa berkarya dan tidak hanya selalu menerima apa yang saya dapat dari negeri ini.
5.        Dadan Ahmad Gandara Berkata:
Mei 30, 2007 pukul 1:24 pm | Balas
Nama : Dadan Ahmad Gandara
NIM : 04202520589
Jurusan : Manajamen
Kelas : Karyawan
Jawab :
1. A. Manfaat yang diambil dari mempelajari filsafat, adalah kita sebagai manusia dapat mengerti dan memahami apa yang kita akan dilakukan dari mulai sikap, metode berpikir, subtabsi masalah serta sisitem berpikir, juga dapat menjelaskan apa tentang apa, bagaimana dan untuk apa yang akan dilakukan oleh kita sendiri. Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari mempelajari Filsafat Ilmu adalah :
- Digunakan untuk melatih berpikir radikal tentang hakekat ilmu
- Dapat melatih berpikir relatif di dalam lingkup ilmu
- Dapat menghindarkan diri dari kemunafikan
- Dapat menghindarkan diri dari egoisme ilmiah
2. Yang menjadi perbedaan dari berpikir biasa, berpikir ilmiah dan berpikir filsafat yaitu, dimana berpikir merupakan upaya memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berpikir dapat terus berlanjut guna memeperoleh pengetahuan baru, dan prosesnya tidak berhenti selama upaya pencairan pengetahuan terus dilakukan. Berpikir biasa yaitu
Berpikir yang sipatnya sederhana yang menghasilkan pengetahuan biasa atau pengetahuan Eksistensial. Sedangkan Berpikir Ilmiah yaitu dimana Berpikir yang sistematis dan faktual tentang objek tetentu yang menghasilkan pengetahuan ilmiah pula (Ilmu). YAng dimaksud Berpikir radikal yaitu Berpikir tentang hakekat sesuatu yang menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat)
3. Mengapa suatu Ilmu harus didasari oleh asumsi filsafat karena,
Ilmu memang harus dilandasi dengan filsafat sebab bila ilmu tidak dilandasi oleh berbagai asumsi filsafat dihawatirkan ilmu itu tidak bermanfaat, bijaksana dan tidak benar sehingga pada akhirnya akan bertentangan dengan akidah-akidah dalam ajaran agama.
4.Yang dimaksud dengan berfilsafat berarti berpikir itu memang benar adanya karena, berfilsafat akan selalu berusaha untuk berpikir guna mencapai kebaikan dan mencari kebenaran dari berbagai teori atau ilmu-ilmu, maka dengan berfilsafat itu berarti penyelidikan tentang apanya, bagaimananya dan untuk apa, berpikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam.
Sedangkan yang dimaksud dengan berpikir itu sendiri tidak berarti berfilsafat karena semua orang bisa berpikir tapi belum tentu dia sedang berfilsafat, karena berpikir kadang tidak dilandasi oleh filsafat sekalipun masih bisa dilakukan.
5. Pada saat membaca soal-soal diatas yang terbayang dalam benak saya adalah :
a. Apakah yang sedang saya lakukan dan pikirkan ini termasuk pada atau sedang berfilsafat.
b. Apakah yang sedang dan sudah saya lakukan selama ini baik dalam memuntut ilmu pengetahuan maupun dalam bekerja di Intansi Pemerintah sudah dirasakan dan ada manfaatnya bagi orang banyak khususnya untuk saya sendiri dan keluarga dan semoga saya bisa berkarya dan tidak hanya selalu menerima apa yang saya dapat dari negeri ini

Pengantar
             Filsafat adalah sebuah aktivitas: sebuah cara berpikir tentang beberapa pertanyaan. Hal yang paling membedakannya adalah dalam penggunaannya akan argument logis. Orang yang berfilsafat biasanya berurusan dengan argumen-argumen: mereka menemukan argumen-argumen itu, mereka mengkritisi orang lain, atau mereka melakukan kedua hal itu bersama-sama. Mereka kemudian menganalisa dan menjernihkan konsep-konsep. (p.1).
            Orang yang berfilsafat sering memeriksa kepercayaan- kepercayaan (beliefs) yang oleh kebanyakan kita dipercayai begitu saja (take for granted). Orang yang berfilsafat peduli dengan pertanyaan-pertanya an yang berkaitan dengan ‘makna hidup’: pertanyaan tentang agama, benar dan salah, natur dari dunia eksternal, mind, ilmu pengetahuan, seni, dan banyak topik lainnya.
            Banyak kepercayaan- kepercayaan kita, ketika diperiksa, memiliki satu dasar yang teguh, namun beberapa lagi tidak. Belajar filsafat tidak hanya akan membantu kita untuk berpikir lebih jernih tentang prejudis-prejudis kita, namun juga untuk membantu menjernihkan secara tepat apa yang kita sungguh-sungguh percayai. (p.2)
Mengapa belajar Filsafat?
             Banyak kali orang mengatakan bahwa tidak ada manfaat belajar filsafat, mengingat banyak orang yang berfilsafat hanya duduk dan meributkan makna dari kata-kata. Mereka sepertinya tidak mencapai konklusi apapun yang penting, dan kontribusi mereka kepada masyarakat tampaknya tidak kelihatan. Mereka masih saja memperdebatkan masalah yang sama yang menarik perhatian orang-orang Yunani kuno. Filsafat tidak nampak mengubah apapun; Filsafat meninggalkan segala sesuatu seperti apa adanya. (p.3)
            Orang yang berfilsafat sering dikatakan sebagai: “SOMEONE WHO CAN EXPLAIN THE MOST COMPLICATED PASSAGES OF HEGEL’S PHILOSOPHY, BUT CAN’T WORK OUT HOW TO BOIL AN EGG” (Seseorang yang dapat menjelaskan bagian-bagian dari Filsafat Hegel yang paling rumit, namun tidak tahu bagaimana untuk merebus sebutir telur). (p.4).
            Berikut ini beberapa alasan belajar Filsafat:
1.      Memeriksa hidup. Satu alasan penting untuk mempelajari Filsafat adalah karena Filsafat berurusan dengan pertanyaan-pertanya an paling mendasar tentang makna dari keberadaan kita. Kebanyakan kita dalam beberapa momen kehidupan kita, sering menanyakan sendiri pertanyaan-pertanya an filsafati. Mengapa kita disini? Apa ada bukti bahwa Allah itu ada? Apakah hidup ini memiliki tujuan? Apa yang membuat sesuatu itu benar atau salah? Mungkinkah hidup kita ini hanyalah sebuah mimpi? Apakah jiwa beda dengan tubuh? Apa itu seni? Dan sebagainya.
Kebanyakan orang yang belajar Filsafat berpendapat bahwa “AN UNEXAMINED LIFE IS NOT WORTH LIVING” (Satu hidup yang tidak teruji tidaklah layak dihidupi). Menghidupi sebuah keberadaan yang rutin tanpa pernah memeriksa prinsip-prinsip yang mendasarinya, tak ubahnya seperti mengendarai sebuah mobil yang tidak pernah diservis. Demikian juga, prinsip-prinsip yang mendasari hidup kita bisa jadi terdengar baik, namun sampai kita mengujinya sendiri, kita tidak bisa yakin akan hal itu.
2.      Belajar berpikir. Belajar Filsafat menyediakan satu cara yang baik untuk belajar berpikir dengan lebih jernih tentang banyak isu. Metode-metode berpikir filsafati dapat berguna dalam sejumlah situasi yang bervariasi. Banyak orang yang belajar Filsafat kemudian menerapkan kemampuan-kemampuan Filsafati mereka dalam pekerjaan-pekerjaan yang berbeda, seperti dalam pekerjaan yang berkaitan dengan hukum, pemrograman komputer, konsultasi manajemen, pelayanan sosial, dan jurnalisme – semua area dimana  kejernihan pikiran adalah sebuah aset yang berharga.
    Saya akan menambahkan dengan sebuah contoh yang saya ambil dari R.G. Soekadijo (Logika Dasar: 2003). Anggaplah telah terjadi peristiwa berikut: Adam ditodong dan dalam pergumulan yang terjadi, Adam kena sabet clurit si penodong dan Adam meninggal. Orang banyak yang datang menolong, semua mengatakan bahwa Adam meninggal disebabkan oleh sabetan clurit penodong. Akan tetapi visum et repertum dokter menyatakan: Adam mempunyai penyakit jantung, dan kemungkinan besar ia meninggal karena serangan jantung. Luka sabetan clurit tidak mungkin menimbulkan kematian, akan tetapi agaknya pergumulan dengan penodong itu menaikkan emosinya, sehingga mengakibatkan serangan jantung. Disini serangan jantung adalah kondisi memadai (sufficient condition), penyakit jantung Adam adalah kondisi mutlak (necessary condition) dan kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan Adam meninggal.
    Pergumulan dengan penodong, luka sabetan clurit dan kenaikan emosi Adam bukan yang menyebabkannya meninggal. Jadi orang banyak telah sesat dalam menarik konklusi: bukan sebab dikiranya sebab. Ini suatu kesesatan penalaran. Urutan waktu saja tidak menunjukkan hubungan sebab-akibat. Kesesatan ini disebut “kesesatan non causa pro causa.”
    Bayangkan jika seorang wartawan tidak memiliki pengertian tentang “kesesatan non causa pro causa” ini; bayangkan jika seorang penegak hukum tidak terlatih untuk berpikir filsafati; bayangkan juga bagaimana jika pengguna jasa rumah sakit tidak memiliki pengetahuan tentang kemungkinan- kemungkinan seperti ini. Sebagai orang yang pernah belajar Jurnalistik, dan sebagai anak seorang bidan (almarhumah), hiii…, saya merasa ngeri membayangkan tindakan-tindakan main hakim sendiri yang mungkin terjadi.
    Orang yang belajar Filsafat juga menggunakan pengertian yang mereka miliki tentang keberadaan manusia dalam seni: sejumlah filsuf telah menjadi novelis, kritikus, pakar puisi, pembuat film, dan pemain drama yang sukses.
3.      Kesenangan. Bagi beberapa orang, belajar Filsafat dapat menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan. Namun kesenangan yang dimaksud disini bukanlah untuk menyelesaikan sebuah isu filsafati demi agar namanya tercantum dalam jurnal ilmiah, atau berfilsafat demi menaikkan gaji dan prestis, yang berlanjut dengan promosi jabatan atau kedudukan. (p.5).

Sekarang kita telusuri apa yang dimaksud dengan ‘Aturan berpikir benar’ yang dibicarakan oleh ‘ilmu logika’ .
Sebagaimana sudah dibicarakan sebelumnya, logika bertugas untuk menjaga supaya kita bisa ‘berpikir secara benar’ , pertanyaan nya sekarang adalah, Apakah yang dimaksud dengan BENAR itu? Benar adalah persesuaian proposisi antara pikiran (fikr) dan kenyataan.
Misalnya :
Bumi mengelilingi matahari =>  Preposisi ini sama dengan kenyataannya. (Logika BENAR)
Matahari mengelilingi bumi =>  Preposisi ini TIDAK sama dengan kenyataan (Logika SALAH)
Untuk mengukur benar, selain dengan patokan diatas kita juga bisa meneliti apakah proposisi dari kalimat yang akan kita teliti itu mengandung PERTENTANGAN (kontradiksi).
Proposisi yang bertentangan misalnya :
Ahong adalah seorang bisu yang pandai berdebat = (Tidak mungkin orang bisu bisa berbicara, apalagi berdebat)
Sibuta dari gua hantu itu sangat jeli penglihatannya = (Tidak mungkin orang buta bisa melihat)
Mei shin adalah cewek jujur yang suka menipu = (Tidak mungkin orang jujur menipu)
Lihat…
Contoh diatas sangat sederhana, tapi jangan salah…banyak kalimat  asing yang berseliweran didepan kita yang kita telan mentah-mentah tanpa menyaring terlebih dahulu akibat kita terlalu menyepelekan ‘logika’. Penyepelean ini sering terjadi, karena banyak dari guru-guru kita yang masih mengharamkan menggunakan akal (logika) secara maksimal.
Sering kita dengar gertakan seperti ini, “Huss… untuk perkara yang ini jangan menggunakan akal, dosa lho …! “
Padahal pernyataan-pernyataan ’sepele’ seperti diatas sering menjebak dalam ilmu kalam, sehingga ketika ditanyakan : “Apakah Tuhan dapat mengangkat Batu yang lebih Besar dari Tuhan sendiri” , Atau  ” Apakah Tuhan dapat menciptakan makhluk yang lebih hebat dari Tuhan sendiri?”
Kita suka kebingungan untuk mencari tahu? Karena di ilmu kalam ini masuk ke bahasan mana?
Bagi ilmu logika, pertanyaan seperti itu tidak perlu dirisaukan, karena pertanyaannya sudah jelas tidak memenuhi kaedah logika, yakni tidak menghadirkan maksud yang bulat, pertanyaan seperti itu sama saja dengan pernyataan ” sibuta huruf itu pandai sekali membaca” .
Dari uraian diatas, kiranya kita bisa melihat fakta, betapa pentingnya mengetahui ilmu logika (mengetahui arti BENAR) , supaya kedepan kita tidak mudah untuk mengatakan yang ini ‘benar’ dan yang itu ’salah’ tanpa ada penjelasan apapun tentangnya.
Jadi…
Jika suatu hari nanti ada yang bilang ke Anda ‘Janda itu sedang mencuci baju suaminya’ , tentu anda sudah mengerti maksud kalimat tersebut bukan?
Anda sudah bisa melihat “sesuatu”  yang salah disitu…?

Mengeluarkan pendapat, mengemukakan teori, menyimpulkan sesuatu menjadi hal yang benar (kebenaran) atau menjadi hal yang salah (kekeliruan) adalah pekerjaan pikiran, dan pikiran diatur oleh logika.
Logika mengatur gerak pikiran saat sedang berpikir dengan mengendalikan kemungkinan benar dan kemungkinan salah
Sekarang bicara kemungkinan benar dan kemungkinan salah, berarti kita harus urut kebelakang terlebih dahulu bagaimana cara kemungkinan-kemungkinan itu timbul.
Kita bisa saja mengatakan kemungkinan perkara yang seperti ini adalah betul atau perkara seperti itu yang betul. Atau sebaliknya, kita bisa saja bercerita bahwa hal yang seperti itu adalah salah atau hal yang seperti ini yang salah dst.
Semua pendapat yang kita coba kemukakan itu bermula dari pengamatan atau pemahaman kita terhadap sesuatu yang kemudian menjadi pengetahuan kita tentangnya, yaitu sesuatu yang kita PEROLEH, sesuatu yang KITA RASAKAN, sesuatu yang kita CAPAI, sesuatu yang kita SADARI melalui pancaindra, akal dan batin kita.
Setelah kita memperoleh pemahaman (konsepsi) tentang apa-apa yang kita dapat dari pengamatan itu, apakah kemudian pengamatan kita itu bisa serta merta menjadi kebenaran? Atau sebaliknya, suatu kekeliruan?
Tentu saja tidak, untuk menetapkan nilai dari apa yang kita amati kita harus mengujinya terlebih dahulu dengan alat uji yang bernama ‘penilaian( asensi/tashdiq) .
Disini kita berhenti sebentar, kita lihat lagi bahwa ternyata untuk menentukan sesuatu itu mempunyai ‘nilai’ benar (kebenaran) atau salah (kekeliruan) kita butuh tahapan- tahapan. Inilah topik kita sekarang
Tahapannya apa saja?
Tahapan pertama adalah melihat bagaimana sesuatu itu bisa ada dalam pikiran seseorang, misalnya ada mak lampir, ada kuda terbang , ada malaikat, ada nyai loro kidul, ada hawa dingin, ada keong emas, ada api, ada kerbau, ada kerupuk, ada peyek ada laptop dan seterusnya…
Sekilas contoh keberadaan benda-benda tersebut tidak ada bedanya, semua contoh itu sering kita lihat dan dengar. Tapi apakah yang kita lihat dan dengar itu semuanya sudah betul?
Tentang api, kerbau, kerupuk, peyek, dan laptop sudah jelas benar adanya dan bisa dilihat dan disaksikan oleh siapa saja dan dimana saja. Tapi mengenai yang lainnya seperti mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas dan keong emas? Siapa dan dimana orang pernah menemukan dan menyaksikannya?
Disini kita akan mulai bertanya-tanya, iya ada mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas TAPI itu kan hanya di sinetron dan film…, betul ada keong emas, tapi keong toh tetap keong…dan kita tidak pernah bisa mengambil emas dari keong itu. Betul ada hawa panas, tapi yang manakah bendanya?
Disinilah tempatnya kita masuk ketahapan kedua dari pembicaraan mengenai nilai benar (kebenaran) atau nilai salah (kekeliruan) yang ada didalam pikiran, yaitu ada dalam pikiran yang keberadaannya ‘ada’ dengan sendirinya secara otomatis (ekstemporal) DAN ada juga  yang keberadaannya ‘ada’ melalui proses pengamatan dan penelitian (kontemplatif)
Kebenaran itu bisa muncul dengan sendirinya didalam pikiran tanpa proses pengamatan dan penelitian, kebenaran seperti ini biasanya terhubung dengan apa-apa yang bersangkutan dengan panca Indra. Misalnya kebenaran tentang adanya mobil, adanya handphone, adanya kucing, adanya tanah, adanya singkong, adanya air, adanya komputer dst. Benda-benda ini ada dipikiran secara otomatis  begitu panca indra kita bersentuhan dengannya.
Untuk menguji tingkat otomatis ini, kita bisa perhatikan bayi atau balita…, mereka (balita) itu tidak pernah diajarkan bertanya, tapi faktanya hampir semua balita sering bertanya, tentang nama-nama benda sekitarnya. Darimana munculnya ilmu bertanya sibalita? Tentu saja itu muncul dengan sendirinya begitu alat pancaindranya mulai berfungsi terhadap alam materi.
Sebaliknya dengan benda benda yang imaterial, seperti mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas dst, benda-benda imateri ini ada dan keberadaannya ada ketika dilakukan imajinasi dan penilaian (asensi) oleh akal terhadapnya. Tapi apakah benda-benda itu benar ada (kebenaran) atau tidak pernah ada (kekeliruan)?
Disini kita masuk ketahapan yang ketiga. Yakni pemahaman (konsepsi) dan penilaian (asensi ) terhadap suatu perkara akal. Apa-apa yang kita pahami melalui pancaindra dan akal tidak selalu  akan menghasilan pilihan BETUL (kebenaran) , atau sebaliknya SALAH (kekeliruan) secara serta merta. Diperlukan suatu hukum untuk menentukan nilainya.
Misalnya, kuda terbang, hawa panas, perbuatan baik, perbuatan buruk. Adalah contoh bagaimana akal memberikan hukum tehadap dua hal, yakni kuda dan terbang, hawa dan panas. Terlihat direkaman pemikiran ada benda bernama kuda…., sekarang disambung dengan terbang?
Darimana rekaman yang didapat tentang terbang? Pastilah sudah terekam secara otomatis di pikiran ketika pancaindra melihat burung atau sejenisnya yang bisa terbang. Kemudian dengan melalui proses imaginasi, muncullah benda baru yang bernama kuda terbang. Cara kerja pikiran yang merakit-rakit dan menyambung-nyambung seperti inilah yang kita sebut dengan proses pemahaman (konsepsi) terhadap nilai dari suatu perkara.
Sekarang bagaimana dan apa yang disebut penilaian?
Gambaran pikiran atau ‘IDE’ mengenai ‘KUDA’ ditambah sayap menjadi ‘TERBANG’  adalah sebuah konsepsi. Dan yang disebut sebuah Penilaian adalah ketika ‘pikiran menghukumi’  bahwa KUDA itu TERBANG, atau itu kuda terbang maka pikiran telah memberikan kesimpulan atau PENILAIAN bahwa ‘ADA’ kuda terbang.
Contah lain, hawa ditambah panas adalah ‘ide’ yang tergambar didalam pikiran, tapi jika pikiran menghukumi nilai ide itu menjadi ‘hawa itu panas’ maka pikiran telah memberikan kesimpulan atau PENILAIAN terhadap hawa DAN panas menjadi suatu NILAI, yaitu ‘ADA’ hawa panas.

Sebagian besar orang-orang sering menuangkan pikiran nya kedalam bentuk tulisan, perkataan, obrolan, isyarat dan lain sebagainya.
Pikiran yang disampaikan itu tentu beraneka ragam adanya, ada yang kelihatannya bagus dan masuk akal, Ada juga yang kelihatan bagus tapi tidak masuk akal, ada juga yang kelihatannya tidak bagus tapi masuk akal dan ada juga yang tidak bagus dan tidak masuk akal pula
Sekarang bagaimana cara kita untuk membedakan manakah buah pikiran yang bagus dan manakah buah pikiran yang ngaco?
Untuk membedakannya kita bisa menggunakan atau menerapkan  patokan-patokan dan hukum-hukum logika yang sudah ada. Hukum, patokan dan rumus logika sering juga disebut dengan Asas Berpikir.
Asas sebagaimana kita ketahui adalah pangkal atau asal dari mana sesuatu itu muncul dan dimengerti, atau bisa juga disebut sebagai pondasinya sesuatu dimana sesuatu itu bermula.
Dalam hal ‘asas pemikiran’ , maka yang disebut dengan asas pemikiran adalah pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benar nya suatu pemikiran tergantung kepada salah benarnya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada pengetahuan dan ilmu.
Asas berpikir itu dapat dibedakan menjadi 3 asas,
Pertama, Asas Identitas (Principium Identitatis) yaitu sebuah patokan dasar yang paling mendasar. Patokan yang dipatok oleh asas identitas mengatakan bahwa segala sesuatu itu adalah dirinya sendiri BUKAN yang lainnya. Contohnya, Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu adalah A, maka ia adalah A,  bukan B, C, D, ataupun yang  lainnya. Identititas A adalah A sendiri.
Kalau kita mengakui nama pacar kita adalah Siti, maka yang dimaksud dengan nama Siti adalah Siti yang menunjukkan identitas seseorang yang menjadi pacar kita itu, bukan Siti yang lainnya dan bukan pula Siti yang isterinya tetangga
Kedua, Asas Non kontradiksi (Principium contradictoris) yaitu sebuah aturan dasar yang mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu TIDAK MUNGKIN sekaligus sebagai pengakuan terhadap sesuatu itu. Misal kita mengatakan benda itu BUKAN A, maka tidak mungkin sekaligus kita mengakui benda itu adalah A sebab realitasnya A yang kita maksud adalah A yang sama sebagaimana yang dimaksud oleh Asas Identitas, bahwa segala sesuatu itu adalah dirinya sendiri.
Dengan kata lain bisa dirumuskan bahwa tidak mungkin dua kenyataan yang kontradiksi menyatu secara bersamaan sekaligus dan simultan. Tidak mungkin menyatu realitas kontradiktif sekaligus pada detik yg sama, tertawa sekaligus menangis, pergi sekaligus tidak pergi dan seterusnya. Asas berpikir pada patokan ini mengatakan bahwa “Tidak ada pernyataan yang sekaligus benar dan salah
Ketiga, Asas penolakan kemungkinan ketiga (Principium exlusi tertii) yaitu sebuah aturan mendasar yang mengatakan bahwa antara pengingkaran dan pengakuan maka kebenaran terletak pada salah satunya.  Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga bisa dipastikan tidak mungkin salah keduanya. Asas ini menolak kemungkinan ada kebenaran yang ketiga.

 

Pembagian Logika

Banyak orang bertanya dimilist-milist yahoogroups, ada yang bertanya karena ingin tahu, ada yang bertanya karena iseng, ada yang bertanya karena sekedar ingin menguji persoalan logika, dan ada juga yang sangat mengerti dengan logika dan memberikan perhatian yang serius tentang itu, mereka menanyakan apakah yang dimaksud dengan logika?
Pengertian dan asal-usul sejarah logika sudah pernah saya tuliskan disebuah artikel, ditailnya bisa dilihat disini dan disini 
Sekarang mungkin lebih baik kalau kita bicarakan kelanjutan dari artikel itu saja, yaitu apakah ilmu logika itu hanya satu? Ini lebih menarik kita bicarakan karena disebuah milist yahoogroups kemarin masih ada yang bertanya, apakah yang disebut dengan logika cinta? Apakah cinta mempunyai logikanya sendiri?
Jawaban saya atas pertanyaan serupa itu jelas dan tegas, TIDAK. Cinta tidak mempunyai logikanya sendiri
Ada pula seorang pakar yang bertanya kepada saya, Bagaimana dengan multivalue logic dan fuzzy logic?
Tentu dari contoh pertanyaan tersebut rasanya perlu kita mengulas sedikit tentang pembagian logika itu sendiri.
Logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan, tergantung darimana kita mau meninjaunya. Sistematisasi Logika pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga, pertama dilihat dari segi kualitasnya, kedua dari segi metodenya dan yang ketiga dari segi objeknya.
Dalam artikel ini akan kita bicarakan yang pertama dulu, yaitu Logika dilihat dari segi kualitasnya. Dari segi kualitasnya Logika dibagi menjadi dua, pertama adalah Logika naturalis dan yang kedua adalah Logika ilmiah. Logika naturalis adalah sebuah kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia.
Pertanyaan seperti “apakah cinta mempunyai Logika nya sendiri?” adalah termasuk kedalam tinjauan logika naturalis, yaitu sebuah  kemampuan alami dari seseorang untuk menggunakan Logika tanpa perlu mempelajari ilmu Logika terlebih dahulu.
Khabar baiknya untuk kita semua adalah, bahwa akal manusia memang dirancang untuk mampu berlogika secara spontan sesuai dengan hukum-hukum Logika dasar. Ini bisa dibuktikan dengan kemampuan semua orang untuk membedakan antara satu benda dengan benda yang lain itu adalah berbeda.
Betapapun rendahnya tingkat intelejensi seseorang, dia secara alami akan tahu bahwa sesuatu itu adalah dirinya sendiri. A adalah A bukan B, C, D ,E atau pun yang lainnya. Hal yang diketahui secara alami ini dalam ilmu Logika disebut sebagai Logika naturalis yang memenuhi kaidah dasar Logika yaitu asas pemikiran ketentuan nomor 1, yakni asas identitas. Ditail bisa dibaca disini :
Kita bisa saksikan disekitar kita aneka pernyataan dan pertanyaan yang pada dasarnya membicarakan Logika, mereka melakukan antraksi Logika naturalis  dengan bobot dan cara yang berbeda-beda. Kemampuan mengolah Logika naturalis yang dimiliki oleh setiap manusia berbeda-beda tergantung tingkat intelejensi yang dimilikinya. Seorang orator politik bisa mengutarakan pernyataan-pernyataannya secara logis dan baik walaupun dia pada dasarnya belum pernah mempelajari ilmu Logika secara khusus. Seorang biduan bisa bernyanyi mengutip istilah-istilah Logika dengan baik walaupun dia sebenarnya belum tahu hubungan-bubungan Logika.
Namun sering juga kita temui banyak diantara mereka tidak bisa berbuat banyak ketika terlibat dalam kesulitan dan tekanan yang tinggi dalam berpikir, sering kesulitan dalam memecahkan persoalan itu dilakukan dengan mengikuti naluri alami yang lainnya saja, yaitu seperti mengikuti kecenderungan pribadi, kecenderungan kelompok, kecenderungan golongan, pengaruh teman, pengaruh kepentingan, dan sugesti-sugesti yang lainnya.
Tiba pada persoalan serupa diatas, maka terlihat jelas bahwa logika naturalis pada suatu titik akan mengalami jalan buntu. Untuk mengatasi kebuntuan berpikir seperti itulah maka orang-orang tempoe doeleo kemudian menyusun suatu aturan main dalam berlogika, yaitu sebuah aturan yang menyusun rumus-rumus, patokan-patokan dan hukum-hukum berpikir yang benar. Rumus-rumusan  itu selanjutnya  disebut dengan Logika ilmiah (logika Artifiliasi).
Logika ilmiah bertugas untuk memperhalus, mempertajam serta menunjukkan jalan pikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien , mudah dan aman.
Sekarang mari kita lihat penggolongan yang lainnya…
Penggolongan yang lainnya adalah dari segi metodeloginya. Dari segi metodenya  Logika dapat dibagi menjadi dua, yaitu Logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah Logika Aristoteles dan semua logikawan setelahnya yang mengikuti sistem Logika aristoteles.
Logika modern mulai tumbuh dan berkembang setelah masa Aristoteles yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan penting, diantaranya adalah ketika diperkenalkannya metode baru semacam aljabar (Ars Magna) oleh Raymundus Lullus pada abad XIII.
Sejak pengenalan itu, akhirnya sampai juga kepada kita nama-nama besar lainnya seperti, Roger Bacon, Francis Bacon, Rene Descartes sampai dengan Goorge Boole dan Bertrand Russell sebagai tokoh logika modern.
Dilihat dari segi objeknya, Logika dapat dibagi menjadi logika formal dan Logika material. Logika formal bicara mengenai hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir benar.
Sedangkan logika material lebih konsentrasi kepada metode induktifnya, yaitu meneliti atau mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil kerja logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris.
Dengan demikian maka sekarang semakin jelas bagi kita, bahwa logika sebenarnya selalu ada disekitar kita, baik kita mengetahuinya ataupun tidak. Logika bukan hanya se-onggokan ilmu yang jauh diseberang sana, tapi dia ada disini, disekitar kita. Disekitar kita sering berseliweran para pemakai logika naturalis 


BY.Muh.shofi Mubarok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar