BAB 4
IKHTISAR SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT (1):
AKAL-BUDI DAN IMAN
Mider ing rat
saya nglangut
Lelana njajah
negari
Mubeng
tepining samodra
Sumengka
agraning wukir
Anelasak wana
wasa
Tumurun ing
jurang terbis
(Kinanti)
Yang dibahas disini terutama
filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina lebih bersifat
mengajar bagaimana manusia mencapai "keselamatan"
("moksa"), atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh
keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tak dapat diungkiri didalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk
dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.
Ada empat periode besar dalam
filsafat Barat:
(A). Zaman Yunani (600 sM - 400
M)
(B). Zaman Patristik dan Skolastik (300 M - 1500
M)
(C). Zaman Modern (1500 M - 1800 M)
(D). Zaman sekarang (setelah 1800 M).
Patut dicatat bahwa tiap zaman
memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani diletakkan
sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai
oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan akal, karena
iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum =
"aku percaya justru karena tidak masuk akal" Tertulianus, 160-223 M.
Dalam Zaman Modern direfleksikan
berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia.
Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.
1 Zaman Yunani
Is not the
good good because it contains the idea of the good?
Plato
1.1 Filsafat pra-sokrates
ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik
keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales
mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles:
api-udara-tanah-air. Herakleitos
mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu
berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak
berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam
bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah
yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal
oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode
reductio ad absurdum untuk meraih
kesimpulan yang benar.
1.2 Puncak zaman Yunani
dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348
sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
1.2.1 Sokrates menyumbangkan
teknik kebidanan (maieutika tekhne)
dalam berfilsafat. Bertolak dari
pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang
bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung
dalam batin orang itu. Dengan demikian
Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates
dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan
mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan
berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan
tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik
alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero
kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke
kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa
"memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke
pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas
tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat
menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati
nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk
mengakhiri hidupnya.
1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas
sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang
kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia
idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan
keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua
kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa
berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa
pengalaman hanya merupakan ingatan
(bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya
telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon
sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa
melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal
intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu
memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan,
kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan
yang sifatnya rasional-deduktif
sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap
oleh Plato adalah keterlemparan jiwa
manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being")
dan mengada (menjadi,
"becoming").
1.2.3 Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah
menjungkir-balikkan segalanya. Dia
setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar
dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga
setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah
konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda.
Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari
ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles,
idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini
merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang
kita pikirkan dengan akal kita,
sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita.
Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang
masuk dalam kesadarannya oleh
pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri
khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran
manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles,
pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada
dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran
baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat
konklusi yang berupa pernyataan
ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi
penting dalam logika, yaitu cabang
filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz
berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya
logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif
pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis
untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan
pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang
sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak
dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara
terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari
bentuk ("morphe") yang sama.
Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu
yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis",
Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam
setiap individu dengan cara berbeda-beda.
Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides
diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang
"tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat
dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria
yang belum lengkap". Dalam
reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan
produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap
dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan
menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria
menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan
"substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan,
binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche",
Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia
memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati"
dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam
dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan
"nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang
membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles
merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat
kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya
yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang
menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan
rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar
Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar
dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya.
Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor
penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur
Tengah juga. -- (Catatan kecil saja
dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang
pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah
diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur
Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama
berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama
sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan
yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat
dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang
penalaran, berperan sebagai organon
("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk
selanjutnya diolah dalam theoria yang
membawa kepada praxis.
Aristoteles mengawali, atau
sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu
empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan
pemikiran dalam Physica (yang
ditulisnya), dengan Almagest (oleh
Ptolemeus), Principia dan Opticks
(dari Newton), serta Experiments on
Electricity (oleh Franklin), Chemistry
(dari Lavoisier), Geology (ditulis
oleh Lyell), dan The Origin of Species
(hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir
itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran
pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme
(Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia
bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika:
"kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki
kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato)
disebut oleh Plotinos to en = "to
hen", yang esa, "the one".
Yang esa adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan
yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal
oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun
juga. Yang esa adalah pusat daya, --
seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak
berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari to en mengalir nouz =
"nous", budi, akal, bahkan roh (?).
"Nous" merupakan "bayang-bayang" dari "to
hen". Dari "nous"
mengalir ynch = "psykhe",
jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan mh ou = "me on", materi, yang merupakan kemungkinan
atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung
antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap,
yang rohani berlawanan dengan yang jasmani.
-- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari
kebenaran. Untuk mencapai kebenaran,
manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup
manusia. "To hen" kiranya
identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi
Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to
hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk
mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi
pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir
kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada
terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme
dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan
atau "jiwa kosmik". Banyak
agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik
tidak menemui pemisahan seperti itu.
Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika
penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia
lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik
atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik
harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu
dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi.
Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam
"agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan
Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi
generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh
Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di Fakultas Sastra UGM).
2 Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)
Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat
untuk mengajar,
untuk
menyatakan kesalahan,
untuk
memperbaiki kelakuan, dan
untuk
mendidik orang dalam kebenaran.
Dengan
demikian tiap-tiap manusia kepunyaaan Allah
diperlengkapi
untuk setiap perbuatan baik.
2 Tim 3:16-17
Pemikiran filsafati para Bapa
Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme.
Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan
akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat
pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok
bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya
dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh
Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang
("lumens") dari Allah.
Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran
(yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak
kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia
merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah),
dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih
jelas dari pada segala ciptaan lainnya.
"Tuhan, engkau lebih tinggi
daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling
dalam dalam batinku" -- itu
ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan
imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam
zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang).
Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas
-- tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan
bahan dari Alkitab.
Agustinus menerima penafsiran
metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta
dicipta creatio ex nihilo dalam 6
hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik
adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak
relevan bagi keselamatan mereka". Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam
waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan
tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu
yang melaluinya Allah memelihara dunia.
Istilah ex nihilo tidak
berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari
perunggu, namun hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah
ada". Hakikat alam ciptaan ialah
menerima seluruh Adanya dari yang
lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan
adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.
Disini tidak disinggung
persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu
ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan.
Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak
dapat memastikan mana yang terjadi. -- Menciptakan, sebagai tindakan aktif,
dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat
langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara
pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus
waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan
suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka
buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia
terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio
dan sekaligus conservatio).
Ketika ditanya mengenai apa yang
dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya
bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.
3 Zaman Skolastik
Egoo eimi ho
oon.
Sum qui sum.
I am who I
am.
Aku adalah
Aku.
(Keluaran 3:14)
Saya membagi zaman skolastik
dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam
komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik
barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk
jazirah Spanyol).
Secara sederhana, dalam zaman
Patristik, "filsafat teologi", dengan
tanda dapat dibaca sebagai
"identik dengan", "sama sebangun dengan", "praktis
tidak berbeda dengan". Sementara
dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan
"filsafat teologi", dalam
periode skolastik barat tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan "filsafat teologi".
3.1. Periode skolastik timur
Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa
penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran
filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya
di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama
Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar
kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8
krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk
menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin
muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal
pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
(1) Mashab
Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M)
meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan
(selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat
dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu
membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus
mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari
perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan
antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3
ayat 110): "amr bil-a'ruf wa'l nahy an'al-munkar".
Mashab Mu'tazila ada pada
pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia,
dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan
kacamata rasionalis.
(2) Mashab
falsafah pertama (830 - 1037 M), berhaluan neoplatonis dan
aristoteles. Kata "falsafah"
dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli
fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi
(865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M)
dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan
antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et
existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu'l
Qur'an. Tulis al-Razi: "Tuhan
memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang
bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang tersembunyi
dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi
manusia. Akal itu menghakimi
segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal
semata-mata".
(3) Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari, berpusat di Bagdad, dan
bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan
bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani
(?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).
Pandangan yang bercorak atomistis
berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain
daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat
dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan
al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun"
(Al-Qur'an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus
atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan
minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak
illahi. Apabila tampak sesuatu akibat
dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal
itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi
setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu
hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam
suntuk. "Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai
rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai
keadilanNya".
Dalam "Al-Tahafut
al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20
dalil dan membuat kajian dan bantahan
yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui
sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara
singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada
tempat dalam agama.
(4) Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur
Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika
barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat
Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? -
1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf
utama dalam perioda Filsafat Kedua
(1100 - 1195 M) ini.
Ciri para filsuf ini pada umumnya
menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas
seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan
kenyataan rohani sampai akhir hayat.
Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada
abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku
roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY
IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.
Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok
karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya
filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari
ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya
bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan
sebabnya. Kita menanggapi hubungan
sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan
akal. Dengan akibat atau setiap
perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab
tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional,
tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah.
Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang
melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana.
Karya apologetisnya (2 buku yang
ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik
sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat
al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar
manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188,
Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17)
. Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai
studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.
Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf
dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak
seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat
sosok mayatnya". Tetapi naskahnya
populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan
menyebar dari sana. Dengan
karyanya, Aristoteles yang dijuluki
"Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang
oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati
Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf
muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para
filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia.
Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan
tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di
sekelilingnya.
3.2 Perioda skolastik Barat
Awal abad 13 ditandai dengan 3
hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo
kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat
Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti
dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 - 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan
akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Otonomi filsafat yang bertumpu
pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, akal memampukan
manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu
adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu
teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat
(misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena
hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman.
Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa
Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski misteri ini mengatasi akal, ia tidak
bertentangan dengan akal. Meski akal
tidak dapat menemukan (menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju
misteri ("prae-ambulum fidei").
Dengan ini Thomas Aquinas
menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu bertentangan, atau
dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: pengetahuan alamiah (yang
berpangkal pada akal budi) dan pengetahuan iman (yang bersumber pada kitab suci
dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhirnya
membedakan dengan tegas "Geisteswissenschaften" = "human
sciences" dari "Naturwisensshaften" = "natural
sciences", sementara Max Weber membedakan "erklaeren" sebagai
ciri-ciri ilmu alam dari "verstehen" yang merupakan ciri khas
ilmu-ilmu kemanusiaan.
BAB 5
IKHTISAR SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT (2):
JURUS-JURUS KAJIAN RASIONAL
Pernah kepada Sang Budha ditanyakan: "Apakah Allah
itu?"
Sang Budha tersenyum, menaikkan kening,
menggerakkan jari penunjuk ke bibirnya, dan hanya
"Sssst" keluar dari bibirnya.
Hal-hal luhur adalah benar, asalkan tidak sampai
dirumuskan;
jika dirumuskan, tidak benar lagi.
Dari : J W M
Verhaar, SJ, Identitas Manusia.
Kanisius,
1989, halaman 137
4. Zaman Modern (1500 - 1800)
Para filsuf zaman modern
menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama,
tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada
beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme,
sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin,
maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan
kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650
M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada
metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan
menyangsikan segalanya, secara metodis.
Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini,
maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian
yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu
"saya ragu-ragu". Ini bukan
khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu". Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan
adanya. Dengan lain kata kesangsian itu
langsung menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", aku
berpikir (= menyadari) maka aku ada.
Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. -- Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan "jelas,
dan terpilah-pilah" -- "clearly and distinctly", "clara et
distincta". Artinya, yang jelas dan
terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau
substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, "extention") atau
materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab
sempurna dari kedua realitas itu).
Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak
dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan
dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari
Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga.
Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas
pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang
hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang,
dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat,
bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena
dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah
komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).
Descartes adalah pelopor kaum
rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam
pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang
memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah
(yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi
manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang
paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh Hume,
yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang
beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama.
Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung,
sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami
kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat
disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang
memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh
Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang
lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle or
collection of perceptions (= kesadaran tertentu)".
Kausalitas. Jika gejala
tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi
panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala,
tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan
harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable"
(berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti
yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan
kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang "hukum
alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang
kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh
kebiasaan atau perasaan kita saja.
Hume merupakan pelopor para
empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari
indera. Menurut Hume ada batasan-batasan
yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera
kita.
Dengan kritisisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan
suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh.
Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita,
namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita
memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume
bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu
sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti
tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang
memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah
ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan
indera kita. Ruang dan waktu adalah cara
pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah
dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang
tak terpatahkan. Ini bentuk
pengetahuan.
Demikian Kant membuat kritik atas
seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi
aneka aliran filsafat masa kini.
Catatan. Filsafat zaman
modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau
Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam
zaman modern ada periode yang disebut Renaissance
("kelahiran kembali"). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi
dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari
sana. Filsuf penting adalah N
Macchiavelli (1469-1527), Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535)
dan Francis Bacon (1561-1626).
Periode kedua adalah zaman Barok, yang menekankan akal
budi. Sistem filsafatnya juga
menggunakan menggunakan matematika. Para filsuf periode ini adalah Rene
Descrates, Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1710). Periode ketiga ditandai dengan fajar budi
("enlightenment" atau "Aufklarung"). Para filsuf katagori ini adalah John Locke
(1632-1704), G Berkeley (1684-1753), David Hume (1711-1776). Dalam katagori ini juga dimasukkan
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant.
5. Masa kini (1800-sekarang).
Filsafat masa kini merupakan
aneka bentuk reaksi langsung atau taklangsung atas pemikiran Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831). Hegel ingin
menerangkan alam semesta dan gerak-geriknya berdasarkan suatu prinsip. Menurut Hegel semua yang ada dan semua
kejadian merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan
bersifat rohani. Namun celakanya, Yang
Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus dilaksanakan, sebab jika betul-betul
mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika maha sempurna tidak menjadi. Oleh
sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang oleh aliran pemikiran materialisme
yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi itu, yang sering
sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang Mutlak"), namun
adalah materi belaka. Maksudnya, yang
sesungguhnya ada adalah materi (alam benda); materi adalah titik pangkal segala
sesuatu dan segala sesuatu yang mengatasi alam benda harus dikesampingkan. Maka seluruh realitas hanya dapat dibuat
jelas dalam alur pemikiran ini. Itulah faham yang dicetuskan oleh Ludwig
Andreas Feuerbach (1804-1872). Sayangnya, materi itu sendiri tidak bisa menjadi
mutlak, karena pastilah ada yang-ada-di-luar-materi yang
"mengendalikan" proses dalam materi itu untuk materi bisa
menjadi-lebih-sempurna-dari-sebelumnya.
Kesalahan Hegel adalah tidak
menerima bahwa Yang Mutlak itu berdiri sendiri dan ada-diatas-segalanya, dalam
arti tidak dalam satu realitas dengan segala yang sedang-menjadi tersebut. Dengan mengatakan Yang Mutak itu menjadi,
Hegel pada dasarnya meniadakan kemutlakan.
Dalam cara sama, dengan mengatakan bahwa yang mutlak itu materi, maka
materialisme pun jatuh dalam kubangan yang sama. Dari sini dapat difahami
munculnya sejumlah aliran-aliran penting dewasa ini:
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan
suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Manusia muda atau suku-suku primitif pada
tahap teologis" dibutuhkan figur dewa-dewa untuk "menerangkan"
kenyataan. Meningkat remaja dan mulai
dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan
metode-metode positif dan ilmiah. Aliran
positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873)
dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh
kelompok filsuf lingkaran Wina.
Marxisme (diberi nama mengikuti tokoh utama Karl Marx, 1818-1883)
mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi belaka, yang berkembang
dalam proses dialektis (dalam ritme tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah
pengikut setia Feuerbach (sekurangnya pada tahap awal). Feuerbach berpendapat Tuhan hanyalah proyeksi
mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah sarana manusia memproyeksikan
cita-cita (belum terwujud!) manusia tentang dirinya sendiri. Menurut Feuerbach, yang ada bukan Tuhan yang
mahaadil, namun yang ada hanyalah manusia yang ingin menjadi adil. Dari sini
dapat difahami mengapa Marx berkata, bahwa "agama adalah candu bagi
rakyat", karena agama hanya membawa manusia masuk dalam "surga
fantasi", suatu pelarian dari kenyataan hidup yang umumnya pahit.
Selanjutnya Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi atas
perkembangan masyarakat dan sejarah.
Yang justru dibutuhkan adalah aksi untuk mengarahkan perubahan dan untuk
itu harus dikembangkan hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan masyarakat.
[Catatan. Soekarno mengklim telah mencetuskan marhaenisme sebagai
marxisme diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia. Kualifikasi
"penerapan dalam situasi dan kondisi Indonesia" (apapun itu) pastilah
tidak membuat faham marhaenisme sebagai suatu
aliran filsafat dan pastilah tidak harus sama dengan faham marxisme
sebagai diterapkan di dalam lingkungan masyarakat lain.]
Ditangan Friedrich Engels
(1820-1895), dan lebih-lebih oleh Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung, aliran
filsafat Marxisme ini menjadi gerakan komunisme,
yaitu suatu ideologi politik praktis Partai Komunis di negara mana saja untuk
merubah dunia. Sangat nyata bahwa dimana
saja Partai Komunis itu menjalankan praktek-praktek yang nyatanya mengingkari
hak-hak azasi manusia, dan karena itu tidak berperikemanusiaan (dan tak ber
keTuhanan pula!).
Eksistensialime merupakan himpunan aneka pemikiran yang memiliki
inti sama, yaitu keyakinan, bahwa filsafat harus berpangkal pada adanya
(eksistensi) manusia konkrit, dan bukan pada hakekat (esensi)
manusia-pada-umumnya.
Manusia-pada-umumnya tidak ada, yang ada hanya manusia ini, manusia itu.
Esensi manusia ditentukan oleh eksistensinya. Tokoh aliran ini J P Sartre
(1905-1980), Kierkegaard (1813-1855), Friederich Nietzche (1844-1900), Karl Jaspers
(1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973).
Fenomenologi merupakan aliran (tokoh penting: Edmund Husserl,
1859-1938) yang ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen,
konsep-konsep, atau teori umum.
"Zuruck zu den sachen selbst" -- kembali kepada benda-benda
itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan
realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu
berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita
terima. Kalau kita "mengambil
jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh
pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu
"berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat
intuisi dalam diri kita.
Fenomenologi banyak diterapkan
dalam epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi keagamaan (misalnya
kajian atas kitab suci).
Pragmatisme tidak menanyakan "apakah itu?", melainkan
"apakah gunanya itu?" atau "untuk apakah itu?". Yang dipersoalkan bukan "benar atau
salah", karena ide menjadi benar oleh tindakan tertentu. Tokoh aliran ini: John Dewey (1859-1914).
Neo-kantisme dan neo-thomisme merupakan aliran-aliran yang
merupakan kelahiran kembali dari aliran yang lama, oleh dialog dengan aliran
lain.
Disamping itu masih ada aliran filsafat analitik yang menyibukkan diri
dengan analisis bahasa dan analisis atas konsep-konsep. Dalam berfilsafat, jangan
katakan jika hal itu tidak dapat dikatakan. "Batas-batas bahasaku adalah
batas-batas duniaku". Soal-soal falsafi seyogyanya dipecahkan melalui analisis atas bahasa,
untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan makna dibalik bahasa yang digunakan.
Hanya dalam ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan
itu bersifat faktual. Tokoh pencetus: Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Akhirnya sejak 1960 berkembang strukturalisme yang menyelidiki
pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa, agama-agama,
sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.
6. Pancasila sebagai obyek kajian filsafat.
Sebagai filsafat dan pandangan
hidup bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian
filsafat. Antara lain terkenallah temuan
Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia.
Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat politis,
Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai "satu-satunya
azas" dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang
Pancasila dalam perspektif suatu agama karena
selain unsur-unsur lokal ("milik dan ciri khas bangsa
Indonesia") diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam
setiap agama. Namun rasanya lebih tepat untuk melihat Pancasila sebagai obyek
kajian filsafat politik, yang berbicara mengenai kehidupan bersama manusia
menurut pertimbangan epistemologis yang bertolak dari urut-urutan pemahaman
("ordo cognoscendi"), dan bukan bertolak dari urut-urutan logis
("ordo essendi") yang menempatkan Allah sebagai prioritas utama.
Menurut Hardono Hadi, jika
Pancasila menjadi obyek kajian filsafat, maka harus ditegaskan lebih dahulu
apakah dalam filsafat Pancasila itu dibicarakan filsafat tentang Pancasila (yaitu hakekat Pancasila) atau filsafat yang terdapat dalam Pancasila
(yaitu muatan filsafatnya). Mengenai hal ini evidensi atau isyarat yang tak
dapat diragukan mengenai Pancasila terdapat naskah Pembukaan UUD 1945 dan dalam
kata "Bhinneka Tunggal Ika" dalam lambang negara Republik
Indonesia. Dalam naskah Pembukaan UUD
1945 itu, Pancasila menjadi "defining characteristics" = pernyataan
jatidiri bangsa = cita-cita atau tantangan yang ingin diwujudkan = hakekat
berdalam dari bangsa Indonesia. Dalam
jatidiri ada unsur kepribadian, unsur keunikan dan unsur identitas diri. Namun
dengan menjadikan Pancasila jatidiri bangsa tidak dengan sendirinya jelas
apakah nilai-nilai yang termuat di dalamnya sudah terumus jelas dan
terpilah-pilah.
Sesungguhnya dalam kata
"Bhinneka Tunggal Ika" terdapat isyarat
utama untuk mendapatkan informasi tentang arti Pancasila, dan kunci bagi kegiatan merumuskan muatan filsafat yang terdapat
dalam Pancasila. Dalam konteks itu dapatlah diidentifikasikan mana yang bernilai
universifal dan mana yang bersifat lokal = ciri khas bangsa Indonesia.
Tugas. "Bhinneka
Tunggal Ika" secara harafiah identik dengan "E Pluribus Unum"
pada lambang negara Amerika Serikat.
Demikian pula dokumen Pembukaan UUD 1945 memiliki bobot sama dengan
"Declaration of Independence" negara tersebut. Buatlah suatu analisis mengenai perbedaan
muatan dalam kedua teks itu.
Suatu kajian atas Pancasila dalam
kacamata filsafat tentang manusia menurut aliran eksistensialisme disumbangkan
oleh N Driyarkara. Menurut Driyarkara,
keberadaan manusia senantiasa bersifat ada-bersama manusia lain. Oleh karena itu rumusan filsafat dari
Pancasila adalah sebagai berikut:
Aku manusia mengakui bahwa adaku
itu merupakan ada-bersama-dalam-ikatan-cintakasih ("liebendes
Miteinadersein") dengan sesamaku.
Perwudjudan sikap cintakasih dengan sesama manusia itu disebut
"Perikemanusiaan yang adil dan beradab".
Perikemanusiaan itu harus
kujalankan dalam bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan
barang-barang yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan
hidup. Penjelmaan dari perikemanusiaan
ini disebut "keadilan sosial".
Perikemanusiaan itu harus
kulakukan juga dalam memasyarakat.
Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya dan agar kesatuan karya
itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggauta
harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya. Itulah demokrasi = "kerakyatan yang
dipimpin ...".
Perikemanusiaan itu harus juga
kulakukan dalam hubunganku dengan sesamaku yang oleh perjalanan sejarah,
keadaan tempat, keturunan, kebudayaan dan adat istiadat, telah menjadikan aku
manusia konkrit dalam perasaan, semangat dan cara berfikir. Itulah sila kebangsaan atau "persatuan
Indonesia".
Selanjutnya aku meyakini bahwa
adaku itu ada-bersama, ada-terhubung, serba-tersokong, serba tergantung. Adaku tidak sempurna, tidak atas kekuatanku
sendiri. Adaku bukan sumber dari
adaku. Yang menjadi sumber adaku hanyalah
Ada-Yang-Mutlak, Sang Maha Ada, Pribadi (Dhat) yang mahasempurna, Tuhan yang
mahaesa. Itulah dasar bagi sila pertama: "Ketuhanan yang mahaesa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar